Gerakan Sustainable Fashion Bersama Royal Golden Eagle

By Farhati Mardhiyah - 9:46 AM

Baca Juga

 

Apakah kamu sadar bahwa baju yang digunakan sehari-hari merupakan plastik tak kasat mata?

Pada awalnya saya pun tidak pernah menyadari, apalagi mengetahui kalau ternyata bahan kain yang digunakan pakaian sehari-hari bisa jadi terbuat dari bahan plastik juga.

Meskipun sering menerapkan “one in one out” pada koleksi pakaian, ternyata belum tentu cara tersebut memberikan solusi sampah pakaian. Pasalnya, pakaian yang kita cuci berpotensi menghasilkan mikroplastik.

Itu pun baru masalah mikroplastik yang terlepas ke saluran air, lalu terbawa ke perairan sampai ke hilir. Pakaian bekas pakai dengan bahan plastik atau campurannya akan sulit hancur atau terdegradasi di tumpukan sampah yang berakhir di Tempat Pemrosesan Akhir sampah.

Judulnya saja Tempat Pemrosesan Akhir, seharusnya ada tindak lanjut atas sampah yang terkumpul. Termasuk sampah pakaian bekas. Sayangnya, untuk memusnahkan pakaian dari bahan polyester misalnya, membutuhkan sekitar 500 derajat Celcius. Aksi pembakaran tersebut pun sangat berbahaya, sebab bisa menghasilkan zat Dioksin memicu kanker dan mengganggu janin. 

Tidak perlu dibakar? 

Bukan solusi yang tepat menumpuk pakaian dari bahan non-biodegradable alias sulit terdegradasi. Sebab, butuh waktu puluhan hingga ratusan tahun dan berpotensi menghasilkan mikroplastik di perairan. 

Kan bisa di-daur ulang?

Untuk membuat pakaian lebih nyaman, bahan kain polyester yang lebih murah dicampur dengan bahan yang lain seperti katun. Nah, pakaian yang terbuat dari bahan campuran ini sulit untuk dilakukan daur ulang.

Kalau pakaian terbuat dari 100% polyester, bisa saja didaur ulang kembali lalu dibuat menjadi benang. Coba saja, apakah nyaman menggunakan bahan polyester sehari-harinya?

Ini masih berbicara tentang kenyamanan menggunakan pakaian, dan sampah pakaian bekas. Coba kita cari tahu, bagaimana proses pembuatan pakaian.

Manis Untuk Ekonomi, Pahit Untuk Lingkungan


Saat ini fashion sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Industri fashion di Indonesia memang berkembang manis, sebelum adanya pandemi industri fashion mampu menyumbang sekitar Rp1.500 triliun atau 18 persen dari pendapatan nasional.

Sering mendengar Fast Fashion? Ya, tren mode fashion yang cepat berganti menyebabkan tingginya permintaan untuk terus memproduksi fashion terbaru. Perhatikan setiap brand favorit kamu, apakah tiap musim selalu mengeluarkan koleksi berbeda-beda? 

Fast Fashion adalah metode pembuatan, desain, serta pemasaran pakaian yang diproduksi secara massal dan dipercepat untuk memenuhi kebutuhan pasar. 

Tentu kita sudah mengetahui, segala bentuk kegiatan konsumsi pasti proses produksi yang menghasilkan limbah. Dengan kualitas material yang rendah dan tidak ramah lingkungan, limbah yang dihasilkan dari seluruh proses produksi berpotensi merusak lingkungan.

Limbah Tekstil yang Teracuhkan


Adanya trend micro collection, konsumen lebih sering membeli pakaian agar tidak ketinggalan tren fashion yang terus berubah. Padahal, setiap helai pakaian fast fashion tersebut rata-rata hanya digunakan tujuh kali sebelum akhirnya menjadi pakaian bekas pakai. 

Dikutip dari data temuan Co-Founder Our Reworked Word, Annika Rahmat menyampaikan bahwa 33 juta ton tekstil yang diproduksi di Indonesia, satu juta ton diantaranya menjadi limbah tekstil

Komunitas Zero Waste Indonesia juga menemukan bahwa 80 persen dari total sampah yang terdampar di laut Indonesia berasa dari tekstil. Lalu, dalam jangka waktu setahun setidaknya 66 persen orang dewasa di Indonesia membuang satu pakaian dan 25 persen lainnya membuang lebih dari 10 pakaian.

Dikutip dari Katadata, pengajar University of Technology Sydney Timo Rissanen menyampaikan bahwa pakaian sebetulnya tidak dirancang untuk daur ulang. Pakaian daur ulang saat ini yang dijual pun berasal dari sampah plastik dan limbah pabrik, bukan sampah tekstil atau kain. 

Proses daur ulang pakaian membutuhkan banyak tenaga dan harganya mahal. Sebab, satu pakaian bisa terdiri dari beberapa bahan serat berbeda, ditambah lagi banyak bahan diwarnai dengan bahan kimia sintetik. Maka itu, proses daur ulangnya akan berbeda setiap bahannya. 

Akibatnya, pakaian bekas pakai lebih banyak ditemukan berakhir di tempat pembuangan sampah. Maraknya fast fashion yang lebih dominan menggunakan bahan sintetik menyebabkan pakaian membutuhkan waktu 20 hingga 200 tahun untuk terurai. Selama proses terurai tersebut, sampah pakaian yang menumpuk akan mengeluarkan gas metana dan melarutkan bahan kimia beracun ke air dan tanah.

Pencemar Logam Berat dan Mikroplastik Berbahaya


Selain menimbulkan limbah pakaian bekas, tingginya produksi pakaian dalam waktu singkat berdampak juga terhadap pencemaran kualitas lingkungan.

Contohnya, ditemukan zat pencemar berbahaya di Sungai Citarum. Dikenal sebagai pusat industri tekstil terbesar di Indonesia, namun dikenal juga sebagai sungai paling tercemar di dunia. 

Alih-alih menggunakan cost produksi lebih murah, beberapa pabrik industri tekstil memilih menggunakan pewarna kain sintetik, bahkan membuang limbahnya langsung ke sungai.

Pewarna sintetik memang lebih murah. Sayangnya, karena terbuat dari senyawa kimia kompleks dengan 3.500 jenis bahan kimia berbeda menyebabkan pewarna sintetis sulit terurai. 

Berdasarkan Citarum Stakeholders, sekitar 40 persen limbah Sungai Citarum merupakan limbah domestik, sisanya merupakan limbah industri, peternakan, dan pertanian. Penelitian yang dilakukan oleh Andarani, ditemukan pada salah satu titik Sungai Citarum tercemar oleh logam berat seperti Kromium, Tembaga, dan Zinc. Logam berat tersebut umumnya ditemukan pada bahan pewarna sintetik yang digunakan industri tekstil pada proses pewarnaan kain agar warna yang dihasilkan lebih cerah.

Selain logam berat, limbah pakaian juga berpotensi menghasilkan mikroplastik yang merupakan salah satu sumber kerusakan lingkungan perairan. Dari penelitian yang dilakukan Gusela tahun 2019, ditemukan mikroplastik dengan tipe fiber yang dominan berasal dari kain sintesis Industri tekstil. 

Penyumbang Emisi Gas Karbon


Dampak buruk dari industri tekstil tidak hanya dilihat dari sisi konsumsi, tapi juga produksi. Proses produksi tekstil yang tidak berkelanjutan berpotensi menghasilkan emisi gas karbon lebih besar. 

Untuk menekan biaya produksi, industri tekstil masih banyak memilih menggunakan bahan bakar batu bara pada proses pewarnaan kain. Tak hanya itu, proses produksi tekstil yang tidak berkelanjutan seperti penggunaan bahan baku berikut ; poliester, nilon, dan akrilik, kegiatan impor bahan baku, proses pewarnaan kain dari bahan sintetik, serta proses produksi benang dapat menghasilkan emisi karbon cukup besar.

Menurut World Resource Institute, emisi gas rumah kaca yang dihasilkan produksi polyester setara dengan pengoperasian 185 pembangkit listrik tenaga batu bara. 

Dikutip dari Kompas.id, secara global industri tekstil menghasilkan emisi karbon sebesar 1,2 miliar ton per tahun. Setiap ton serat selama produksi benang, pencelupan, penenunan, dan perajutan dapat menghasilkan sedikitnya 9,6 juta emisi karbon.

Semakin banyak dan cepat produksi pakaian seperti fast fashion, tentu akan menyebabkan semakin menipisnya energi fosil, pencemaran air semakin meningkat, dan semakin banyak limbah pakaian yang terbuang.

Gerakan Alternatif Sustainable Living dengan Royal Golden Age


Bagaimana pun pakaian adalah kebutuhan utama dalam kehidupan sehari-hari. Namun, untuk mengurangi dampak dari kegiatan produksi pakaian pada industri tekstil, kita bisa turut serta melakukan gerakan alternatif. Salah satunya menerapkan sustainable living dalam kehidupan sehari-hari.

Sustainable living sebenarnya mengajak kita untuk selalu membangun gaya hidup yang seimbang dan merasa cukup akan kebutuhan. Bukan hanya menuruti keinginan saja, dalam menerapkan sustainable living melibatkan keputusan jangka panjang untuk berkontribusi menjaga lingkungan.

Berbicara keputusan jangka panjang, pada prinsip sustainable living mengajak kita untuk memilih produk ramah lingkungan, efisiensi penggunaan energi dan air, mengurangi limbah, dan mendukung praktik yang berkontribusi pada kesejahteraan lingkungan dan masyarakat. 

Nah, bagaimana cara menerapkan gaya hidup berkelanjutan dalam memilih produk fashion?

3 Hal Penting Sustainable Fashion


Sebelumnya saya hanya menerapkan “one in one out”, atau memperpanjang usia pemakaian pakaian. Jumlah pakaian yang ada di lemari saya terbilang sedikit, tapi saya tetap merasakan kewalahan ketika pakaian bekas menumpuk

Saya pun tersadar, untuk berkontribusi mengurangi limbah pakaian tidak hanya sebatas mencegah pemilihan produk fast fashion atau memperpanjang usia pemakaian saja. 

Ya, meskipun pakaian sudah keluar dari lemari dan penglihatan saya, ternyata pakaian bekas tersebut punya potensi menjadi limbah dan mencemari lingkungan. Kalau begitu, gagal dong menerapkan sustainable fashion?

Nah, yuk belajar bareng gimana sih cara menerapkan sustainable fashion?

1. Perhatikan Bahan Material yang Digunakan


Awalnya, saya merasa produk dengan label bahan tertentu ditambah ada embel-embel sertifikasi-nya, kok mahal banget ya? Ternyata harga mahal tersebut sebanding dengan bahan baku yang digunakan.

Nah kalau sudah mulai move on ke arah sustainable fashion, sebaiknya lebih aware memilih material bahan pakaian berserat alami yang mudah terurai. Contohnya katun, viscose atau rayon, wool, dan silk. Cara termudahnya, kamu bisa baca label material dari produk fashion.

Proses Produksi

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pada proses produksi pakaian membutuhkan sumber energi yang besar. Pada proses pewarnaan kain pun juga menggunakan bahan kimia yang berbahaya bagi lingkungan.

Maka itu, kita harus lebih teliti dan mencari informasi lebih dalam mengenai proses produksi dari bahan kain atau raw material produk pakaian yang dipilih. 

Kesejahteraan Sosial 


Industri tekstil seperti fast fashion sangat melekat dengan isu eksploitasi waktu kerja para karyawan. Padahal konsep berkelanjutan tidak hanya memberikan dampak pada lingkungan saja, tapi memperhatikan juga kesejahteraan sosial dan ekonomi. 

Apakah ada produsen bahan baku serat alami yang memang menerapkan prinsip keberlanjutan?

Mengenal Royal Golden Eagle (RGE)


Royal Golden Age (RGE) merupakan kelompok bisnis yang mengelola pemanfaatan komoditas kayu secara berkelanjutan. Salah satu perusahaan global yang memanfaatkan sumber daya alam terbesar dan terbaik dengan menerapkan filosofi 5CS yaitu Community, Country, Climate, Customer, dan Company.

Dalam memanfaatkan sumber daya alam terbarukan, energi, dan industri, RGE memiliki peran dalam mendukung sustainable living. Produk yang dihasilkan RGE seperti pulp dan kertas, minyak kelapa sawit, serat selulosa, serat viskosa, sangat dekat dan bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari.

Maka itu dalam setiap proses produksinya, RGE berkomitmen untuk mengintegrasikan prinsip berkelanjutan dalam berbagai aspek kegiatan bisnisnya di Indonesia. Melalui APRIL Group, RGE menghasilkan produk kertas dan pulp berkualitas tinggi. Seluruh proses produksinya, APRIL Group menerapkan prinsip berkelanjutan dan bertanggung jawab. Salah satu program paper upcycling merupakan inisiasi APRIL Group untuk melakukan daur ulang limbah kertas menjadi produk baru seperti kemasan ramah lingkungan, alat tulis, dan aksesoris fashion.

Selain itu, salah satu entitas di bawah RGE, Perusahaan Asia Pasifik Rayon (APR) juga memiliki peran penting dalam mendukung sustainable fashion di Indonesia.

Sateri Viscose Fibre - Kualitas tinggi, Nyaman digunakan, dan Sustainable


Serat viskosa yang dihasilkan Sateri berasal dari bahan baku alami yaitu kayu yang tumbuh di perkebunan yang berkelanjutan. Lokasinya berada di Pangkalan Kerinci, Riau, menggunakan pohon di hutan tanaman industri APR (Asia Pacific Rayon). Proses panen dilakukan dalam waktu 5 tahun untuk memastikan ketersediaan bahan mentah secara terus-menerus.

Proses produksi bahan mentah di APR menggunakan sistem kontrol loop tertutup, dimana membantu memulihkan 90 persen bahan kimia yang digunakan dalam kegiatan produksi. APR juga memanfaatkan energi biomassa terbarukan, tujuannya untuk mengurangi ketergantungan penggunaan sumber daya fosil. Selain itu, lokasi pabrik dan sumber bahan mentah berdekatan, sehingga meminimalisir penggunaan transportasi. 

Selain aspek lingkungan, APR dalam memproduksi viskosa rayon Sateri juga memberikan dampak pada kesejahteraan masyarakat. Contohnya, kemitraan yang dilakukan oleh APR dengan para pengrajin kain batik lokal. Tujuannya membantu pengrajin menerapkan sustainable fashion dengan menggunakan bahan yang lebih alami dan ramah lingkungan seperti rayon viskosa. 

Tidak hanya komitmen pada bahan baku berkelanjutan, APR juga memiliki sertifikasi standar keberlanjutan, yaitu sertifikasi pulp sourcing PEFC sumber bubuk kayu untuk memastikan bahan baku berasal dari hutan yang dikelola secara berkelanjutan. Sateri juga mendapatkan sertifikasi OEKO- TEX 100 untuk memastikan produknya aman digunakan untuk bayi dan anak-anak.

Bagaimana Cara Menemukan Produk Viskosa rayon Sateri?



Bahan viskosa rayon ramah lingkungan dari Sateri ini sudah banyak digunakan oleh brand fashion lokal di Indonesia. Sebut saja brand weareeveryday.co, bateeqshop, Imaji Studio, dan masih banyak lagi. 

Lebih mudahnya, kamu bisa follow Instagram @asiapacificrayon dan @jakartafashionhub untuk mendapatkan informasi seputar cara mendapatkan kain Viskosa rayon Sateri ataupun brand yang berkolaborasi.

Kesimpulan


Pemanfaatan sumber daya alam untuk kehidupan sehari-hari seperti pakaian atau penggunaan kertas, ternyata bisa dilakukan secara berkelanjutan. Kolaborasi konsumen, perushaan, komunitas dan pemerintah memang sangat penting untuk mendukung sustainable fashion di Indonesia. 

Komitmen RGE dalam memanfaatkan sumber daya terbarukan, tidak hanya memberikan dampak positif untuk lingkungan, tapi secara ekonomi dan kesejahteraan sosial. Sustainable fashion tidak hanya berfokus pada material pakaian yang digunakan, namun seluruh proses produksi mulai dari pemanfaatan sumber daya alam, proses produksi, hingga kesejahteraan sosial.





Sumber Bahan Tulisan:

https://www.sateri.com/
https://www.aprayon.com/
https://www.aprilasia.com/
https://katadata.co.id/rezzaaji/ekonomi-hijau/64c06f65933f0/ekonomi-sirkular-bisa-jadi-solusi-limbah-tekstil-di-indonesia
https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/04/16/gaya-hidup-alternatif-dapat-mengurangi-dampak-lingkungan
https://www.cnbcindonesia.com/news/20221019164842-4-381003/tak-terduga-jutaan-limbah-tekstil-ternyata-berasal-dari-sini
https://www.its.ac.id/news/2022/11/02/fast-fashion-waste-limbah-yang-terlupakan/
https://katadata.co.id/ariayudhistira/analisisdata/64264b0fc90c7/bahaya-tumpukan-sampah-kain-dari-bisnis-thrifting-impor
Penelitian oleh Andarani, P., dan Roosmini, D. Heavy Metal (Cu, Cr, And Zn) Pollution Profiles in Surface Water and Sediments Around Textile Industry PT. X (Cikijing River). 8th International Water Symposium South East Asia Water Environment (SEAWE).Thailand. 2009.

Olah gambar :

Farhati Mardhiyah dari Canva





  • Share:

You Might Also Like

0 comment

Hi! Terima kasih sudah membaca sampai selesai-
Jika ingin bertanya, silahkan sign in Google Account/ Isi Nama dan URL terlebih dahulu agar kolom komentar kamu terlihat dan terjawab disini ya :)